Mana Lebih Mematikan, Measles Rubella (MR) atau Senyum Suster?

Saya baru pulang dari olah raga siang tadi. Sampai di rumah, Arok sedang asik nonton TV dikelilingi mainannya yang berserakan. Mala, asisten rumah tangga kami, sibuk menyiapkan makan siang buat bocah kecil yang sedang gegolerean dan tidak menyapa saya itu. Setelah melepas sepatu, saya hampiri Mala dan bicara soal pengumuman yang ditempel di lift, mengenai jadwal imunisasi MR (Measles Rubella) yang diselenggarakan pengelola apartemen tempat kami tinggal hari ini.
Imunisasi MR ini penting. Pemerintah melalui kementrian kesehatan mewajiban anak-anak usia 9 bulan hingga 15 tahun diberikan vaksin MR, guna mengeliminasi penyakit campak (measles) dan mengendalikan rubella. Fase pertama MR ini diberikan pada anak-anak di Pulau Jawa pada Agustus-September tahun ini, sementara untuk fase kedua, akan diberikan kepada anak-anak di seluruh Indonesia pada tahun 2018 nanti.

Saya sendiri adalah ibu yang pro imunisasi. Meski banyak orang tua kekeuh menolak imunisasi karena bertentangan dengan keyakinan agama, saya bersikap untuk tidak mencampurkan keduanya. Bertuhan secara vertikal membuat kita lebih khusuk dalam beribadah, sehingga tidak perlu terganggu dengan hal lain termasuk inovasi ilmu pengetahuan. Selain itu, imunisasi adalah hak anak yang penting bagi tumbuh kembang dan keberlangsungan hidupnya.
Saya menaruh perhatian pada imunisasi MR ini sejak sekolah Arok mengedarkan permission form kepada seluruh orang tua murid—sebagai tanda persetujuan anak mereka diberikan MR di sekolah. Sebelum MR, kita tentu lebih akrab dengan imunisasi MMR (Measles, Mumps, Rubella) yang menjadi imunisasi wajib sesuai anjuran IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Arok sendiri telah mendapatkan MMR ketika ia berusia 2 tahun. Lalu apakah hari ini ia masih tetap membutuhkan MR?
Awalnya saya berfikir bahwa MR dan MMR adalah dua hal yang sama (because they sound similar). Kenyataannya, meskipun keduanya serupa tapi tak bisa diperlakukan sama. MR diberikan dengan tujuan agar anak terhindar dari virus Campak Jerman (Measles) dan Rubella, sementara MMR diberikan untuk mencegah penyakit infeksi Measles, Mumps (gondong) dan Rubella. Dihilangkannya pemberian antivirus terhadap Mumps atau gondongan disebabkan karena penyakit ini sudah jarang terjadi di Indonesia.
Untuk itu, walaupun anak sudah mendapatkan MMR, ia tetap harus mendapatkan imunisasi MR karena imunisasi ini adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisah-pisahkan.
Highscop Kuningan tempat Arok bersekolah menjadwalkan imunisasi MR ini 15 September lalu. Sayang kami terpaksa melewatkannya, karena pada tanggal yang sama Arok harus terbang ke Makassar menemui neneknya yang sudah sebulan memendam rindu.
***
Mendapati pengelola apartemen bekerjasama dengan puskesmas Setiabudi, saya tak pikir panjang untuk segera mendaftarkan Arok. Imunisasi ini digelar di Assembly Hall lantai 4 dan akan berlangsung hingga pukul 1 siang saja. Artinya, saya hanya punya waktu satu jam untuk membujuk bocah kecil yang tengah asik makan siang dan nonton TV ini. Sambil mengunyah sesuap nasi dengan lauk cakalang suwir, Arok yang baru sadar keberadaan mamanya di rumah melempar senyum hangat. Saya balas senyum itu dengan pelukan dan ajakan imunisasi.
“Nggak mau,” katanya.
Suatu waktu ketika kami sedang cuddling berdua di kamar, saya bilang bahwa anak-anak harimau di hutan akan menyambut pekan imunisasi di bulan Agustus dan September. Anak-anak harimau itu akan mengantri dengan riang, karena biasanya setelah imunisasi mama harimau akan memberi mereka makanan yang lezat. Arok yang mulai tertarik pada cerita itu kemudian bertanya, apa gerangan imunisasi sehingga anak harimau harus mengantri untuknya? Imunisasi itu pemberian vitamin agar anak tidak mudah sakit, terutama bagi anak harimau yang tak suka memakai sepatu dan tak cuci tangan sebelum makan. Jika anak harimau saja mendapat vitamin agar tak mudah sakit, tentu anak manusia juga harus mendapatkannya.
“Arok tau vitamin imunisasi itu seperti apa?”
“No,” jawabnya menggelengkan kepala.
Bukan seperti vitamin yang Arok biasa minum di rumah setiap hari, vitamin imunisasi harus disuntikkan di lengan atau bisa juga di ‘bun-bun’ (kata yang kami pakai untuk menyebut pantat). Itulah mengapa yang boleh memberi imunisasi hanya dokter dan suster di rumah sakit.
“Arok mau sakit?” tanya saya memecah keheningan. Melihatnya menggelengkan kepala, saya katakan lagi bahwa semua anak kecil harus pergi ke dokter anak yang memiliki banyak mainan di ruang prakteknya.
Dokter anak itu baik hati dan memiliki segudang cerita jenaka yang sayang jika kita lewatkan. Sambil mendongeng, ia senang memainkan boneka-boneka di atas mejanya untuk memerankan tokoh dalam cerita pendeknya.
“Adek harus bertemu dengannya untuk mendengar cerita seru dan jenakanya itu ya?” saya membujuk.
Arok memperlihatkan ketidaktertarikannya pada dokter dan rumah sakit. Tak sedikitpun ekpresi ia bagi, pun ketika saya mengulang cerita itu di hari-hari berikutnya dengan tokoh yang berbeda-beda.
Ketika masih batita, Arok dengan mudah dikondisikan pergi imunisasi. Tapi sekarang, bocah tengil yang akan menginjak 5 tahun pada 22 Oktober nanti sudah bisa tegas menolak. Jika dilakukan pemaksaan, tentu akan menyisakan trauma yang akan dikenangnya sebagai cerita buruk imunisasi, setidaknya hingga ia remaja nanti. Persis seperti citra buruk dokter gigi yang pernah singgah di kepala saya.
                                                                                         ***
Hari mulai panas. Setelah berganti baju saya tawari Arok pergi membeli snack kesukaannya. Minimarket tempat kami akan membeli snack tepat berdampingan dengan Assembly Hall di lantai 4. Saya fikir sambil berjalan kaki nanti, saya bisa sekalian membujuknya. Cara ini sengaja saya pakai untuk menunjukkan pada Arok bahwa imunisasi adalah hal yang sederhana. Tak perlu persiapan khusus dan kita bisa melakukannya sambil mampir sebentar.
Arok tak bergeming dengan tawaran snack. Ia menolak pergi dan menatap saya penuh prasangka. Sepasang mata yang dipicingkannya itu tak lepas mengikuti kemana saya bergerak—membuat aliran darah ke jantung kian melambat. Saya jadi lemas membayangkan drama pemberontakan ketika dokter akan menyuntiknya nanti.
Selang beberapa menit setelah kecurigaannya mereda, saya coba membujukknya kembali dan hasilnya mengagetkan. Upaya kedua ini ternyata lebih mudah dari sebelumnya. Bayangan meneguk sekaleng Milo dingin ternyata mampu membuatnya bangkit dan segera menyambar sandal jepit.
Kami kemudian melenggang menuju lift, meninggalkan Mala seorang diri dengan setumpuk cucian piring yang menunggunya. Ketika pintu lift terbuka dan kami berdua memasukinya, bocah itu bingung melihat saya menekan angka 4.
“Where are we going, Mom?” tanyanya.
                                                                                             ***
Keceriaan Arok lenyap kala saya menjawab kita akan pergi ke minimarket di dekat kolam renang lantai 4. Tak terima, ia bertanya lagi:
“Bukanya kita mau pergi ke Epicentrum (supermarket besar yang terletak di depan komplek apartemen kami)? Itu kan di LG, bukan di lantai 4.”
Polosnya pertanyaan itu menyadarkan saya. Kesigapan Arok memakai sandal jepit tadi bukan karena godaan meneguk sekaleng Milo dingin—yang senang ia tenteng sambil berjalan dan membuatnya tampak seperti orang dewasa—melainkan anggapan bahwa kami akan pergi ke Epicentrum.
Saya memang tak bilang kemana kami akan membeli Milo, tapi juga tak menyangka ia berfikir bahwa kami akan pergi ke Epicentrum. Pada dasarnya anak ini senang berbelanja. Arok senang mendorong troli atau keranjang belanja dan berdiri berlama-lama di lorong mainan. Setidaknya sampai saya iba dan ia mendapatkan apa yang tiba-tiba dia inginkan.
Tapi maaf nak, kali ini kamu harus kecewa. Kelak kau akan terbiasa dengannya.
                                                                                            ***
Hari cerah sekali siang itu. Awan di langit berjalan lebih cepat dari biasanya, membuat matahari berdiri pongah di atas kepala. Dari lorong lift, kami keluar gedung dan disambut 2 kolam renang cukup luas. Di pinggir kolam, 2 restauran bergaya Hawaian rukun bertetangga sementara sederet kelapa muda berjajar di dekat meja bar. Beberapa anak masih saja berenang meski kulit wajah dan tubuh mereka mulai gosong. Mamah-mamah yang mengawasi makin khusuk menatap layar ponsel, sementara pelayan restauran mondar-mandir mengantar pesanan.
Kami berdua berjalan menuju minimarket. Semakin dekat, Arok semakin pucat. Beberapa kali tangan mungilnya ia lepaskan dari gandengan saya, agar mudah kabur jika sesuatu yang buruk menimpanya. Saya berusaha mengajaknya bercanda dan menceritakan hal lucu selama kami berjalan, namun raut bingung itu tak bisa ia sembunyikan.
Kaki kami terus melangkah. Tak cepat namun rapat, hingga tak ada kesempatan untuknya bertanya. Meski saya terus menceritakan hal-hal lucu untuk membuatnya lebih rileks, Arok bersikukuh menahan tawanya. Ia memilih waspada dan terlihat seperti anak yang ketakutan, namun ia sendiri tak yakin apa yang ditakutinya.
Apa benar kami berdua akan pergi imunisasi? Kan mau beli Milo. Lagipula imunisasi itu harus di rumah sakit, bukan di lantai empat! Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu yang menggelayuti pikirannya.
                                                                                        ***
Tiba di Assembly Hall, sepasang pintu yang terbuat dari kayu mahoni setinggi 2 meter terbuka satu daunnya saja. Ruangan terlihat sepi, hanya seorang ibu dan bayi, 4 orang petugas medis, serta saya. Ketika melenggang masuk menghampiri meja registrasi dan hendak duduk berkonsultasi, bayi di sebelah saya menangis kencang karena sedang disuntik. Ibu si bayi terlihat mengeratkan dekapannya. Ia meringis dan menutup mata, berharap bisa mengurangi derita semata wayang yang baru 9 bulan dipeluknya.
Di depan meja saya, duduk seorang suster yang parasnya mirip artis lawas Inneke Koesherawati. Ia berpakaian serba putih, berkerudung hitam dengan bibir tipis bercorak peach.
“Buk, anaknya ketinggalan,” tegurnya menunjuk ke arah pintu mahoni yang tadi saya lewati.
Saya menoleh ke belakang. Ketika kacamata saya turunkan dari atas kepala, hanya kepala bocah kecil saja yang terlihat melongok di ujung sana. Badan bocah itu bersembunyi dibalik daun pintu dan dengan mulut sedikit menganga ia perhatikan apa yang dilakukan emaknya. Sesekali ia berkedip, lalu kedua tangannya memegangi pinggiran daun pintu hingga hanya kepala dan jari-jarinya saja yang terlihat.
                                                                                       ***
Lebih 10 menit Arok bertahan dengan posisi dan ekspresi begitu, sementara saya nyerocos tanpa henti bertanya ini itu. Kami semua tertawa ketika kembali menengok ke belakang dan mendapati Arok masih dengan posisi yang sama.
Selesai berkonsultasi, saya berjalan menghampiri si bocah yang kepalanya masih tersangkut daun pintu. Semakin mendekat kearahnya, semakin cepat pula langkah mundurnya. Kami kemudian sedikit berkejaran hingga saya berhasil menangkap tubuh kecil yang menjatuhkan diri, persis di depan minimarket tempat kami akan membeli Milo dingin nanti.
“Kita mau apa sih? Kita mau diapa?” katanya terbata.
“Arok mau pulang aja, mama..”
Ia melepaskan genggaman saya. Jika di paksa, semakin hebat pula perlawanannya. Ia tak berhenti bicara, meledakkan amarah serta rasa tertipunya. Air matanya berderai bersama mimik pilu menyayat hati. Pada momen seperti ini, Arok sangat punya alasan yang akan dimaklumi seluruh mamah-mamah di muka bumi, yaitu tantrum.
Peristiwa ini membawa ingatan saya pada seorang gadis kecil yang kerap tantrum di muka umum. Ia gadis tomboy berambut cepak yang tak kenal kata menunggu. Suatu hari ketika sedang berlibur ke rumah abahnya (kakek) di Keboan-Kabupaten Jombang, si gadis diajak mbahibuk (nenek) menemani belanja di pasar Keboan. Ketika berjalan melewati sebuah toko, mata gadis itu terpana pada nyala lampu yang berkedip genit di sepasang sepatu.
Gadis itu ingin memiliki sepatu dengan lampu di sekeliling solnya, tapi sang nenek tak meluluskannya. Ia kemudian marah dan menjadi tak kooperatif. Gadis itu tak mau bicara dan memutuskan pulang sendiri dengan berjalan kaki—sementara si perempuan tua kebingungan karena tak mampu membujuk dan mengejarnya.
Meski baru 6 tahun, menempuh jarak 1.5 km (setara Bunderan HI ke Kebon Sirih) dengan berjalan kaki seorang diri bukanlah hal yang menakutkan bagi si gadis. Lebih tepatnya sih bukan berani melainkan ia tak tau seberapa jauh jarak dari pasar ke rumah abah, tapi yang ia ingat jalan itu lurus saja. Baru seperempat jalan, Mas Eko, anak kedua mbahibuk naik sepeda motor menghampirinya. Lelaki berjenggot itu membujuk dan mengajaknya pulang bersama namun tak berhasil. Gadis kepala batu itu tak bergeming. Ia terus melaju meski truk-truk besar lalu lalang dijalurnya pulang.
Tak lama mas Eko kembali lagi bersama seorang teman. Ia tak lagi membujuk namun seperti adegan penculikan, gadis kecil itu disergap dari belakang. Kaki si gadis menendang-nendang ke udara, tangannya memukul sekenanya, sementara badannya telungkup di pundak sang paman. Ia berteriak, meronta, menangis dan menjerit, mengerahkan semua energi yang ia miliki.
Tak seperti si gadis kecil, Arok tak berteriak sedikitpun. Ia hanya berderai air mata dan suaranya bergetar. Ketika ia menyadari upayanya tak lagi mampu menghindari hal buruk, ia tak lantas menjadi seperti kuda lumping yang mengamuk–seperti yang kerap dilakukan gadis kecil–tapi hanya duduk terdiam dan menangis dengan wajar.
Layaknya ritual yang selalu kami lakukan, saya kemudian membenamkan Arok dalam dekapan dan kamipun saling berpelukan. Ketika bicara tak ketahuan dimana ujungnya, menunggunya selesai adalah hal paling bijaksana. Persis seperti pertengkaran dua orang dewasa, dimana yang terlalu banyak bicara biasanya hanya ingin didengar, lalu dipeluk sambil diusap kepalanya.
“Kelak pacar-pacarmu akan berterimakasih padaku nak, ku ajari kau cara berdamai,” gumam si gadis kecil dalam hati sambil terus mengingat peristiwa apa saja yang ia lalui, hingga tumbuh setenang ini menghadapi darah daging yang mungkin akan mewarisi bakat tantrumnya suatu saat nanti.
Benar saja, tak lama tangis Arok mereda.
                                                                                            ***
Arok jadi pendiam sejak ia berhasil saya takhlukkan. Meski semua petugas medis menyapanya dengan manis, ia tak berselera hingga si suster cantik mengajaknya bicara. Arok tersenyum dan malu-malu. Bahkan ketika kami duduk di kursi panas yang menjadi saksi jerit dan tangis ratusan anak ketika disuntik, Arok terlihat tenang dan mencuri pandang.
Anak ini memang pemalu, terutama pada mereka yang baru pertama ditemuinya. Melihat tingkahnya yang tak biasa, saya berkedip pada suster agar terus mengajaknya bicara. Suster cantik itu jadi agresif pada Arok. Ia memuji senyum Arok yang manis, mencubit pipinya, mengusap kepalanya dan terus bertanya hal-hal lucu.
Seorang suster lainnya melibatkan diri dalam pembicaraan kami. Arok tak tertarik karena ia menyiapkan jarum suntik, sebotol kecil vaksin MR, dan mulai mengencangkan strap yang dipasang pada lengannya.
“Here we go, the drama is about to come,” pikir saya sembari menghelanafas panjang.
Saya kembali mengamati apa yang dilakukan suster cantik pada Arok. Selain menarik, perempuan itu memang lucu. Ia spontan dan banyak akal, membuat Arok terlena. Tak lama ketika mereka berdua masih bercengkrama, suster kedua membereskan perlatanannya dan berkata, “sudaaaahhhhhh…….”
Kami semua terkejut karena drama yang sedari awal kami takutkan tak terjadi. Jarum suntik yang seharusnya sakit kalah telak oleh rasa malu Arok sendiri. Ketika pamit dan beranjak pulang, saya masih terus membicarakannya dan memberi apresiasi setinggi-tingginya pada Arok. Sebagai gantinya, tak hanya sekaleng Milo dingin, tapi juga cokelat Kinderjoy kesukaannya.
Sambil berjalan pulang, saya kemudian sadar Arok itu Libra yang memang senang dipuja. Entah ada hubungannya atau tidak, tapi hari ini saya bahagia karena hal ini memperlanjar proses imunisasi berikutnya.
End.

Leave a comment